Bismillaah, pagi ini
tanggal 29 Maret di perpustakaan FOURSMA, jam 11.11 Waktu Indonesia Tengah
kumulai menuliskan cerita bulan ini. Terlalu banyak yang melekat dan manis
untuk diingat tapi mari kita coba tuangkan di lembaran singkat ini.
Baru saja, aku
menumpahkan sedikit kisah sedihku pada salah satu teman terbaik yang
ditakdirkan kutemui di pulau indah, Bali ini. Bukan kisah sedih sih, lebih ke
kisah menakjubkan yang memberi pelajaran tak terlupakan di masa kecilku. Kami
baru saja berbagi kisah dan saling menguatkan, ternyata kami sama-sama punya
rasa sakit yang kurang lebih sama. Bedanya, aku telah mengalaminya dengan
sangat rapuh kala itu, dan dia sahabat hebatku ini tengah melalui kisah itu dengan
sangat hebat saat ini. Terkesan lebay, tapi
kami benar-benar saling tertawa dengan linangan air mata. Aku takjub dengan
keceriaan, ketegaran, dan kehebatannya menjalani semua yang ada di hidupnya.
Jika dibanding dengan kisahku, walau sama-sama pahit dan menyakitkan, kisahku rasanya
tidak seburuk kisahnya. Aku semakin
sedih dan malu, aku lemah dan merasa permasalahanku paling berat. Aku merasa
kadang hidup terlalu kejam memusuhiku, tapi ternyata salah.
Dari percakapanku
dengannya tadi, kudapati banyak sekali temparan keras untukku, untuk hidupku.
Aku merasa sangat tidak mensyukuri hidup yang jika dibanding banyak orang
mungkin kesulitan didalamnya tidak ada apa-apanya. Aku merasa bahwa aku, manusia
banyak salah ini sangat menyia-nyiakan banyak waktu dengan hal tidak penting
saat banyak orang berjuang keras untuk menemukan waktu rehat dari kesibukan
yang menjerat. Bukan karena mereka suka, tapi karena mereka perlu dan harus melakukannya.
Belum lagi, kebiasaanku mengeluh yang rasanya menyebalkan sekali, padahal jauh
lebih banyak orang yang bahkan bebannya sangat pelik untuk dijelaskan. Dan yang
paling menampar, aku sangat belajar betapa indahnya, betapa hebatnya orang yang
dengan segudang masalah, setumpuk persoalan, sederet tanggungjawab dan
kesulitan bisa begitu ringan membuat banyak orang lain merasa lebih baik dengan
kehadirannya. Begitu peduli pada orang lain, peka pada semuanya. Dengan
kebaikannya, semangatnya, kasih sayangnya, cerianya, ia bisa membuat semuanya
seperti biasa saja, tanpa masalah dan malah lebih indah. Baiklah, mari belajar
introspeksi diri dan bersyukur lebih keras.
Hari ini memang hebat.
Setelah di sekolah berbagi cerita dan saling menguatkan, sorenya aku mendapat
kembali pelajaran yang tak kalah mengharukan. Seperti bulan-bulan sebelumnya,
Ngaji Bareng (Ngareng) memang sudah menjadi agenda mingguan kami para muslimah
PPG selama menempuh pendidikan ini. Hari itu pembicara di kajian mengucap
banyak pernyataan yang seakan menukik sekali pada hatiku, hinggap di pikiranku
dan membuatku semakin malu akan diriku yang begitu. Salah satu dari banyak
perkataan yang diucapkannya ialah kurang lebih begini, “Jangan mengira, kalian
semua bisa belajar di Singaraja ini hanya karena kebetulan ditempatkan oleh
pemerintah. Tidak sesederhana itu. Pasti ada Rencana-Nya di balik ini semua.
Kenapa kalian bisa ada di Singaraja, bertemu satu sama lain, ikut kajian ini,
dan banyak lagi.”
Lalu, aku benar-benar
merenungi kata-kata ini. Betul sekali, tidak mungkin dari sekian banyak proses
yang dilalui, rintangan yang mengiringi, pengalaman yang didapati hanyalah
sebuah kebetulan yang melemparku sejauh ini. Dari Jawa Barat, ke pulau Dewata
sendiri. Aku benar-benar mulai menemukannya kali ini. Sebelumnya, aku tidak
pernah merasa ada yang sangat spesial dengan keislamanku. Hanya sebatas mensyukuri
nikmat islamku, berterima kasih pada-Nya karena telah menjadikanku muslim sejak
lahir. Itu saja. Tapi kini, aku menghayatinya lebih dari sekedar itu. Aku jauh
lebih mencintai agamaku di pulau yang memiliki tingkat toleransi tinggi ini. Jika
di Jawa aku tidak merasa takjub saat melihat banyak orang beribadah, karena
kupikir ya sudah, memang harus ibadah dan semua orang melakukannya. Tapi di
pulau ini lain. Aku merasa sangat beruntung dan terharu ketika bisa beribadah
tepat waktu, mengikuti sholat berjamaah walau hanya dengan segelintir orang, mendapati
muslim lain melaksanakan ibadah dengan khusyuk di tengah hiruk pikuk kesibukan
kota. Semuanya terasa lain jika dibanding dengan suasana serupa di pulau Jawa.
Dan mungkin, kalau aku tak tinggal di perantauan ini aku tidak akan dapat
menyadari betapa beruntungnya aku.
Di perantauan ini,
sungguh banyak hal yang lebih membuka mataku tentang arti syukur, kuat,
bijaksana dan ikhlas. Aku lebih banyak
merasa diriku sungguh seorang makhluk lemah tetapi sombong karena tidak
mensyukuri sekian banyak kenikmatan yang telah dititipkan-Nya padaku. Kurang
bersyukur. Dan soal bijaksana, dengan merantau ini aku merasa bahwa hidup yang
kujalani ini haruslah sangat bisa kuatur dengan baik. Mulai dari apa yang
kukerjakan, waktu yang kuhabiskan, uang yang kupakai, kesempatan yang ada,
semuanya harus bisa kuatur dengan bijak. Walau ini bukan kali pertama aku
merantau, tapi keadaan berbeda dengan segala keunikan pulau ini membuatku
merasa harus lebih mampu mengatur hidupku lebih baik dibanding perantauanku di
Bandung dulu. Dan tentunya, ikhlas juga poin penting yang sangat kuresapi
maknanya kali ini. Aku mulai berpikir, apa ya yang sudah kuperbuat untuk
menyenangkan orang lain? Kenapa ya aku tidak bisa sebaik mereka dalam menolong?
Bagaimana caraku berbuat, apa tujuannya? Untuk dibalas kebaikan juga kah? Seperti
apa aku memahami kesulitan orang sekitarku? Ah, banyak sekali rasanya pelajaran
ikhlas ini yang kuharap semakin hari aku semakin mampu memahami dan
menerapkannya dengan baik.
Oya, Maret menjadi
bulan greget dengan segala kisahnya. Walau di akhir-akhir bulan banyak kisah
mengharukan (tapi bukan karena urusan
finansial ya, wkwkwk), Maret juga punya cerita lainnya. Tanggal 1 misalnya,
kisah bulan ini dimulai saat Kenanga Girls (KG) tiba-tiba merencanakan pergi
keluar untuk sekedar melepas penat setelah seminggu di sekolah. Mengunjungi
sebuah tempat makan yang sejuk dengan pemandangan memukau di sebuah puncak di
Singaraja adalah tujuannya. Tanpa perlawanan, aku ikut. Tentu saja ajakan dan
hobi KG mengeksplor berbagai wilayah di perantauan ini adalah berkah bagiku.
Mengapa? Ya, bagi aku yang tak berbekal kendaraan dari rumah, memiliki teman
seperti mereka benar-benar rezeki yang teramat besar yang dititipkan ibuku
melalui doanya, agar ku selalu dikelilingi orang baik dan berbagai kemudahan.
Setiba di tempat
tujuan, kami semua terpesona. Aku takjub melihat pemandangan dari atas puncak
ini. Pepohonan menjulang sepanjang jalan yang kami lalui terlihat mungil. Kelip
lampu dari hamparan pemukiman terlihat seperti taburan bintang di pekatnya
malam. Karena kami pergi ke tempat ini saat matahari mulai tenggelam, jadi kami
bisa menikmati suasana sore yang terang dan gelapnya kota SIngaraja dari
puncak. Cantik. Tidak cukup dengan pemandangan
yang menakjubkan, ternyata sebuah surprise
telah disiapkan untukku dan salah satu temanku yang berulang tahun di Februari.
Terlambat dan memang sengaja sepertinya, wkwkwk. Aku terharu, senang sekaligus sedih
karena makin banyak kenangan indah terjadi di kota ini maka semakin berat
meninggalkan kota ini nantinya. Aku hanya bisa berterimakasih pada semua KG
(Cuma 6 orang, termasuk aku padahal). Kami saling terharu juga karena menyadari
bahwa waktu begitu cepat berlari. Awal Agustus kami masih tidak saling kenal,
hingga akhirnya kini sudah Mei dan hampir tiba waktunya kembali ke rumah.
Selain itu, Maret juga
hebat karena ada perayaan Hari Raya Nyepi. Bagiku pribadi, bisa mengalami dan
menyaksikan langsung suasana Nyepi di tanah Bali ini adalah pengalaman yang
tidak mungkin kulupakan. Sehari sebelum Nyepi, sekolah libur karena ada upacara
pengerupukan dan arak-arakan Ogoh-ogoh di sore harinya. Ramai dan meriah
sekali. Keren. (Tunggu videonya di
channel YouTube Fauziah Anggraeni Dewi ya Hehehe). Di hari Nyepi, suasana
Bali benar-benar lengang. Tidak ada kendaraan, toko-toko tutup, ATM tidak
berfungsi, jalanan sepi, tidak ada cahaya lampu, koneksi internet terputus. Aku
dan KG lain benar-benar menghindari saling bertemu dan mengobrol karena
khawatir gelak tawa bisa mengundang pecalang (polisi adat Bali) menuju rumah
kami. Sehari setelah Nyepi pun masih libur, karena masih dalam rangkaian Nyepi
yang disebut dengan hari Ngambak Geni. Jadi, seperti kebanyakan orang bilang
BALI memang BAnyak LIbur. Alhamdulillaah… Hehehe.
Masih belum habis,
momen yang sangat berkesan di bulan Maret ini memang greget. Karena dalam
suasana libur Nyepi, kami yang non-Hindu mendapat waktu libur yang cukup lama.
Seperti biasa, prinsip KG yang memanfaatkan waktu untuk explore Bali selagi ada
kesempatan akhirnya membuahkan sebuah rencana. Rencana yang tak kuketahui juga,
tiba-tiba sebelum berangkat mereka mengajakku ikut dan seperti biasanya, aku
tidak punya alasan untuk menolak. Dan, ternyata kali ini perjalanannya bukanlah
yang singkat seperti sebelumnya. Kami mengunjungi sebuah taman di kawasan
Karangasem. Hmmmm, sekitar 3 jam aku duduk manis dibonceng teman sekamarku.
Untungnya, pemandangan di tempat tujuan dan sepanjang perjalanan memang sangat
memanjakan mata. Dengan tiket hanya 15.000 saja, kalian sudah bisa bebas bermain di taman luas ini. Jadi, lelah di jalan serasa terbayar lunas. Lengkapnya, segera
dibuat juga video tentang taman ini deh. Tunggu ya.
Segitu dulu ya catatan
gregetnya. Sudah masuk April, dan pulang ke Jabar semakin dekat.
Doakan aku lulus ujian
PPG dengan hasil baik dan Mei bisa pulang ya. See you.
Pemandangan menuju Taman Ujung Karangasem |
Pemandangan menuju Taman Ujung Karangasem |
Spot foto unik di Taman Ujung Karangasem |